Bapak
terlalu jarang pulang. Rumah ini jadi terlalu luas untuk aku dan ibu, padahal bangunan dengan tipe tiga puluh enam ini hanya terdiri atas dua kamar tidur,
satu kamar mandi, serta sisanya yang difungsikan sebagai dapur dan sebagian
lagi sebagai ruang tamu yang berdampingan dengan ruang teve.
Seharusnya
kami sudah cukup ahli menghilangkan sepi yang sudah bertahun-tahun menyubur di
rumah ini. Ya, karena memang selama itu pula bapak jarang sekali pulang. Sejak
pabrik sepatu tempat bapak bekerja dilanda kebakaran hebat, bapak
dipindahtugaskan ke cabang lain di luar kota.
Malam
itu kudengar mereka berbincang di meja makan. Jangan bayangkan meja makan kaca
lima mili bertaplak indah dengan bordiran halus berbentuk bunga. Ini hanya meja
di dapur yang kebetulan masih punya sedikit ruang untuk tempat kami makan
bersama. Meja yang di atasnya selalu telungkup tudung saji untuk menutup nasi
juga masakan lezat ibu.
Sesungguhnya
di usiaku saat itu aku tak begitu paham dengan apa yang mereka perbincangkan. Dari
sela tirai pemisah dapur dan ruang teve kulihat kedua tangan bapak yang
menggenggam lembut tangan kanan ibu, lalu tangan kiri ibu berpangku di atasnya,
tak kalah lembut. Mereka tak banyak bicara, tetapi cahaya mata mereka
mengungkap berjuta kata entah apa. Kudengar ibu berkata, “Jarak hanya cara-Nya
untuk mempersuakan lewat kumulasi rindu. Hanya dengan rindu persuaan kita akan
menjadi lebih cantik. Lalu dalam jarak kita hanya perlu percaya. Setitik senyum
dapat membentuk bergaris kekuatan.”
Ah,
begitulah mereka jika sedang berduaan. Entah apa maksudnya menyusun kata dengan
cara sedemikian rupa hingga membuat dahiku berkerut-kerut. Lalu kulihat
keduanya tersenyum. “Maka layaklah kukhususkan menyebut namamu dalam setiap
munajatku pada-Nya. Setidaknya, dalam setiap sujud terakhir. Semoga kelak kita
didewasakan oleh jarak.” kata bapak sebelum mengecup lembut kening ibu.
*****
Malam
takbir. Seminggu lalu bapak mengabari baru bisa pulang di lebaran kedua. Selama
bertahun-tahun aku dan ibu menjalani hari sebiasa mungkin. Aku bahkan tak
merasa tak terbiasa tanpa bapak. Entah dengan ibu. Kulihat senyumnya tak pernah
berubah. Tuturnya selalu santun. Beliau masih sangat menikmati profesinya
sebagai guru sekolah dasar yang sebentar lagi pensiun. Penghasilan bapak yang
selalu mengalir ke rekening ibu bukan tak cukup untuk hidup kami, tetapi mungkin
ini tentang panggilan jiwa. Ibu juga tak menganggap profesinya akan mengurangi
optimalisasi konsentrasi beliau terhadap keluarga. Bukan pula karena anaknya
hanya aku. Dari polah tutur beliau aku belajar bahwa profesinya sebagai guru
serta ibu rumah tangga bukanlah hal yang dapat dipisah-pisahkan. Keduanya
sama-sama amanah yang harus dijalankan sebaik-baiknya.
Kami
masih duduk sambil mengisi ketupat dengan beras. Di atas kompor, wajan berisi
rendang masih mengepul-ngepul. Aromanya memadati seisi rumah. Beginilah suasana
malam takbir kami. Tak ada mudik. Ibu lahir dan besar di keluarga nasrani.
Beliau memilih menjadi muslimah beberapa hari sebelum menikah dengan bapak.
Bukan karena akan menikah dengan bapak yang seorang muslim, melainkan lagi-lagi
karena panggilan jiwa. Toh bapak tak pernah sedikitpun meminta atau membahas
tentang itu.
Ibu
mengaduk rendang sebentar lalu mengecilkan api kompor lainnya yang memangku
panci soto bandung. Porsi masakan ibu di setiap lebaran memang lebih banyak
dari hari biasa karena selepas sholat ied, Oma dan Opa pasti berkunjung untuk
bersilaturahim walau tak ikut merayakan lebaran.
“Kenapa
manyun terus, anak ibu? Besok kan lebaran harus penuh senyum.” kata ibu sambil
mengelus kepalaku lalu melanjutkan mengisi ketupat.
“Bapak
nggak pulang. Semakin berbusalah
mulut tetangga ngomongin kita.”
Jawabku.
Tangan
halus ibu mengangkat sedikit daguku. Menatap mataku. Senyumnya itu yang tak
dapat kutampik sangat menyejukkan. Tetapi aku semakin menjadi. Ribuan kata
kukeluarkan. Sudah lama memang para tetangga diam-diam membicarakan keluarga
kami. Bergunjing tentang hubungan ibu dan bapak yang terpisah jarak. Sampai
belakangan kudengar mereka bilang bapak menikah lagi. Dan, ibu tetap biasa. Tidak
berubah sedikitpun. Tetap tenang, ramah, santun, dan senyum.
Takbir
terus bergema, masakan sudah siap. Kami pindah ke ruang teve. Tak ada nyala
teve. Aku masih berkisah tentang segala kaluh kesah, sementara ibu
mendengarkan. Kami duduk bersila berhadapan. Mata ibu lincah mengikuti tuturku.
Sambil tersenyum, ibu tetap mendengarkan. Aku sangat mengerti arti senyum itu. ibu
sangat mengerti saat itu aku hanya ingin didengar. Hanya ibu yang selalu
mengerti.
“Tapi
Bu, bagaimanapun, kita tidak bisa begitu saja tidak menghiraukan penilaian
orang lain kan? Hei, betapa sombongnya kita. Merasa tak perlu dikoreksi atau
terkoreksi. Kalau begitu, hidup saja dengan bayangan sendiri. Coba cari di mana
tempat itu?”
“Terkadang
kita terlalu sensitif, Nak. Merasa setiap mata memandang, setiap telinga mendengar,
serta setiap mulut berkata tentang kita. Ketika itu terjadi, kita sedang
melangkah menuju eskalator naik krisis kepercayaan diri.” Beliau menaikkan
intonasi suaranya di kata ‘terlalu’. Lalu aku tertidur di pangkuannya.
“Mohonlah
pada-Nya semoga mereka tak mengalami hal serupamu karena ibu yakin mereka tak
setegarmu, kasihan mereka nanti.” Yang ini sangat sayup.
*****
Aku
terus bergerak bersama waktu. Bersama bapak yang tidak bisa datang di wisudaku
dua tahun lalu. Bersama gunjingan tetangga yang masuk telinga kiri sebentar
lalu mental. Juga bersama ibu yang doanya setiap sehabis mendongeng selalu
kutiru hingga kini. “Allah yang Mahabaik, terima kasih untuk hari ini. Semoga
Engkau masih memberi saya kepercayaan untuk bangun dan melangkah esok. Jangan
biarkan saya menjadi pengeluh yang senantiasa menyalahkan keadaan dan
orang-orang sekitar, jadikanlah saya hamba-Mu yang selalu bermawas diri. Namun
Allahku, jangan jadikan saya golongan orang-orang yang hanya bisa menjadi diri
sendiri hanya di saat dirinya sendirian.”
Lalu
aku kecil pasti bertanya mengapa doanya panjang sekali dan ibu selalu menjawab
mintalah sebanyak-banyaknya, Beliau murah memberi, itu masih pendek. Kemudian
aku akan bertanya lagi.
“Kenapa
saya, Bu?”
“Supaya
tidak aku terus.”
Aku
terus bergerak bersama waktu. Hingga aku terbangun. Kudengar gemericik air,
kulihat jam dinding. Ibu sedang mengambil wudhu untuk salat malam. Kudengar
langkahnya yang mantap, tetapi anggun. Perlahan beliau membuka tirai di ambang
pintunya. Jika bapak tak di rumah, pintu kamar beliau memang tak pernah
ditutup, apalagi dikunci. Dulu sekali pernah kutanya mengapa dan beliau
berseloroh, “Supaya kamu tanya, Nak.”
Aku
terus bergerak bersama waktu yang sudah seminggu ini membuatku sulit mengantuk.
Sekarang tinggal tiga hari lagi sampai nanti aku harus jarang bertemu ibu.
Bagaimana kalau ibu sakit? Siapa yang akan membantunya menguncikan pagar serta
pintu dan jendela tiap malam dan membukanya kembali sehabis subuh? Lalu apa
yang harus dilakukan segelas susu di pagi hari jika tak ada aku yang
meminumnya? Kemudian di mana ibu akan meletakkan surat kabar pagi jika aku tak
lagi duduk di sudut ruang teve untuk rutin membacanya?
Ah,
ibu. Bahkan mengkhawatirkanmu sesungguhnya adalah mengkhawatirkan diriku
sendiri.
*****
Hari
itu datang. Hari di mana selama dua tahun belakangan aku bertahan dan menunggu
sambil melaikkan diri agar menjadi baik ketika bersanding nanti, pantas untuk
berada di sampingnya, anggun untuk melangkah bersamanya, serta layak dipercaya
untuk mendapinginya. Ia sangat mengerti aku juga tidak ingin terburu-buru, sama
sepertinya. Karena seperti yang kami lihat, akhirnya nanti kami harus mandiri.
Hari itu datang. Tanpa terburu-buru.
“Semoga
segala niat baik dapat terlaksana dengan penuh berkah dan rida Mahacinta.”
Bisik ibu sebelum mengantarku duduk bersimpuh di hadapan kadi. Di sebelahku ada
ia yang berseberangan dengan bapak yang sama-sama siap berijab-qobul.
Kulirik
ibu untuk memohon kekuatan. Satu anggukan halus sangat membantuku. Semalam,
selepas salat berjamaah ibu berkata, “Pergilah, cari rumahmu. Tempatmu pulang.
Karena tanpa pergi, kau tak dapat pulang.”
Ibu,
hidupku dipenuhi doamu. Hanya lewat doa kita terkoneksi. Benang-benang
transparan itu sekejap terhubung saat kau dan aku memohon padanya tentang apapun
termasuk agar jika kelak kita terpisah, jaraknya akan dipersempit. Hanya lewat
doa aku dapat menyentuhmu. Menyentuh hatimu.
Entah, apa doa ibu masih menyentuh
hati bapak yang selepas ini pulang ke rumah kedua.
*****
Dibuat 30 Oktober 2012