Tuesday, 20 August 2013

Doa-Doa Asa


Bapak terlalu jarang pulang. Rumah ini jadi terlalu luas untuk aku dan ibu, padahal bangunan dengan tipe tiga puluh enam ini hanya terdiri atas dua kamar tidur, satu kamar mandi, serta sisanya yang difungsikan sebagai dapur dan sebagian lagi sebagai ruang tamu yang berdampingan dengan ruang teve.
Seharusnya kami sudah cukup ahli menghilangkan sepi yang sudah bertahun-tahun menyubur di rumah ini. Ya, karena memang selama itu pula bapak jarang sekali pulang. Sejak pabrik sepatu tempat bapak bekerja dilanda kebakaran hebat, bapak dipindahtugaskan ke cabang lain di luar kota.

Malam itu kudengar mereka berbincang di meja makan. Jangan bayangkan meja makan kaca lima mili bertaplak indah dengan bordiran halus berbentuk bunga. Ini hanya meja di dapur yang kebetulan masih punya sedikit ruang untuk tempat kami makan bersama. Meja yang di atasnya selalu telungkup tudung saji untuk menutup nasi juga masakan lezat ibu.

Sesungguhnya di usiaku saat itu aku tak begitu paham dengan apa yang mereka perbincangkan. Dari sela tirai pemisah dapur dan ruang teve kulihat kedua tangan bapak yang menggenggam lembut tangan kanan ibu, lalu tangan kiri ibu berpangku di atasnya, tak kalah lembut. Mereka tak banyak bicara, tetapi cahaya mata mereka mengungkap berjuta kata entah apa. Kudengar ibu berkata, “Jarak hanya cara-Nya untuk mempersuakan lewat kumulasi rindu. Hanya dengan rindu persuaan kita akan menjadi lebih cantik. Lalu dalam jarak kita hanya perlu percaya. Setitik senyum dapat membentuk bergaris kekuatan.”
Ah, begitulah mereka jika sedang berduaan. Entah apa maksudnya menyusun kata dengan cara sedemikian rupa hingga membuat dahiku berkerut-kerut. Lalu kulihat keduanya tersenyum. “Maka layaklah kukhususkan menyebut namamu dalam setiap munajatku pada-Nya. Setidaknya, dalam setiap sujud terakhir. Semoga kelak kita didewasakan oleh jarak.” kata bapak sebelum mengecup lembut kening ibu.
*****
Malam takbir. Seminggu lalu bapak mengabari baru bisa pulang di lebaran kedua. Selama bertahun-tahun aku dan ibu menjalani hari sebiasa mungkin. Aku bahkan tak merasa tak terbiasa tanpa bapak. Entah dengan ibu. Kulihat senyumnya tak pernah berubah. Tuturnya selalu santun. Beliau masih sangat menikmati profesinya sebagai guru sekolah dasar yang sebentar lagi pensiun. Penghasilan bapak yang selalu mengalir ke rekening ibu bukan tak cukup untuk hidup kami, tetapi mungkin ini tentang panggilan jiwa. Ibu juga tak menganggap profesinya akan mengurangi optimalisasi konsentrasi beliau terhadap keluarga. Bukan pula karena anaknya hanya aku. Dari polah tutur beliau aku belajar bahwa profesinya sebagai guru serta ibu rumah tangga bukanlah hal yang dapat dipisah-pisahkan. Keduanya sama-sama amanah yang harus dijalankan sebaik-baiknya.

Kami masih duduk sambil mengisi ketupat dengan beras. Di atas kompor, wajan berisi rendang masih mengepul-ngepul. Aromanya memadati seisi rumah. Beginilah suasana malam takbir kami. Tak ada mudik. Ibu lahir dan besar di keluarga nasrani. Beliau memilih menjadi muslimah beberapa hari sebelum menikah dengan bapak. Bukan karena akan menikah dengan bapak yang seorang muslim, melainkan lagi-lagi karena panggilan jiwa. Toh bapak tak pernah sedikitpun meminta atau membahas tentang itu.
Ibu mengaduk rendang sebentar lalu mengecilkan api kompor lainnya yang memangku panci soto bandung. Porsi masakan ibu di setiap lebaran memang lebih banyak dari hari biasa karena selepas sholat ied, Oma dan Opa pasti berkunjung untuk bersilaturahim walau tak ikut merayakan lebaran.
“Kenapa manyun terus, anak ibu? Besok kan lebaran harus penuh senyum.” kata ibu sambil mengelus kepalaku lalu melanjutkan mengisi ketupat.
“Bapak nggak pulang. Semakin berbusalah mulut tetangga ngomongin kita.” Jawabku.

Tangan halus ibu mengangkat sedikit daguku. Menatap mataku. Senyumnya itu yang tak dapat kutampik sangat menyejukkan. Tetapi aku semakin menjadi. Ribuan kata kukeluarkan. Sudah lama memang para tetangga diam-diam membicarakan keluarga kami. Bergunjing tentang hubungan ibu dan bapak yang terpisah jarak. Sampai belakangan kudengar mereka bilang bapak menikah lagi. Dan, ibu tetap biasa. Tidak berubah sedikitpun. Tetap tenang, ramah, santun, dan senyum.

Takbir terus bergema, masakan sudah siap. Kami pindah ke ruang teve. Tak ada nyala teve. Aku masih berkisah tentang segala kaluh kesah, sementara ibu mendengarkan. Kami duduk bersila berhadapan. Mata ibu lincah mengikuti tuturku. Sambil tersenyum, ibu tetap mendengarkan. Aku sangat mengerti arti senyum itu. ibu sangat mengerti saat itu aku hanya ingin didengar. Hanya ibu yang selalu mengerti.
“Tapi Bu, bagaimanapun, kita tidak bisa begitu saja tidak menghiraukan penilaian orang lain kan? Hei, betapa sombongnya kita. Merasa tak perlu dikoreksi atau terkoreksi. Kalau begitu, hidup saja dengan bayangan sendiri. Coba cari di mana tempat itu?”
“Terkadang kita terlalu sensitif, Nak. Merasa setiap mata memandang, setiap telinga mendengar, serta setiap mulut berkata tentang kita. Ketika itu terjadi, kita sedang melangkah menuju eskalator naik krisis kepercayaan diri.” Beliau menaikkan intonasi suaranya di kata ‘terlalu’. Lalu aku tertidur di pangkuannya.
“Mohonlah pada-Nya semoga mereka tak mengalami hal serupamu karena ibu yakin mereka tak setegarmu, kasihan mereka nanti.” Yang ini sangat sayup.
*****
Aku terus bergerak bersama waktu. Bersama bapak yang tidak bisa datang di wisudaku dua tahun lalu. Bersama gunjingan tetangga yang masuk telinga kiri sebentar lalu mental. Juga bersama ibu yang doanya setiap sehabis mendongeng selalu kutiru hingga kini. “Allah yang Mahabaik, terima kasih untuk hari ini. Semoga Engkau masih memberi saya kepercayaan untuk bangun dan melangkah esok. Jangan biarkan saya menjadi pengeluh yang senantiasa menyalahkan keadaan dan orang-orang sekitar, jadikanlah saya hamba-Mu yang selalu bermawas diri. Namun Allahku, jangan jadikan saya golongan orang-orang yang hanya bisa menjadi diri sendiri hanya di saat dirinya sendirian.”
Lalu aku kecil pasti bertanya mengapa doanya panjang sekali dan ibu selalu menjawab mintalah sebanyak-banyaknya, Beliau murah memberi, itu masih pendek. Kemudian aku akan bertanya lagi.
“Kenapa saya, Bu?”
“Supaya tidak aku terus.”

Aku terus bergerak bersama waktu. Hingga aku terbangun. Kudengar gemericik air, kulihat jam dinding. Ibu sedang mengambil wudhu untuk salat malam. Kudengar langkahnya yang mantap, tetapi anggun. Perlahan beliau membuka tirai di ambang pintunya. Jika bapak tak di rumah, pintu kamar beliau memang tak pernah ditutup, apalagi dikunci. Dulu sekali pernah kutanya mengapa dan beliau berseloroh, “Supaya kamu tanya, Nak.”

Aku terus bergerak bersama waktu yang sudah seminggu ini membuatku sulit mengantuk. Sekarang tinggal tiga hari lagi sampai nanti aku harus jarang bertemu ibu. Bagaimana kalau ibu sakit? Siapa yang akan membantunya menguncikan pagar serta pintu dan jendela tiap malam dan membukanya kembali sehabis subuh? Lalu apa yang harus dilakukan segelas susu di pagi hari jika tak ada aku yang meminumnya? Kemudian di mana ibu akan meletakkan surat kabar pagi jika aku tak lagi duduk di sudut ruang teve untuk rutin membacanya?
Ah, ibu. Bahkan mengkhawatirkanmu sesungguhnya adalah mengkhawatirkan diriku sendiri.
*****
Hari itu datang. Hari di mana selama dua tahun belakangan aku bertahan dan menunggu sambil melaikkan diri agar menjadi baik ketika bersanding nanti, pantas untuk berada di sampingnya, anggun untuk melangkah bersamanya, serta layak dipercaya untuk mendapinginya. Ia sangat mengerti aku juga tidak ingin terburu-buru, sama sepertinya. Karena seperti yang kami lihat, akhirnya nanti kami harus mandiri. Hari itu datang. Tanpa terburu-buru.
“Semoga segala niat baik dapat terlaksana dengan penuh berkah dan rida Mahacinta.” Bisik ibu sebelum mengantarku duduk bersimpuh di hadapan kadi. Di sebelahku ada ia yang berseberangan dengan bapak yang sama-sama siap berijab-qobul.
Kulirik ibu untuk memohon kekuatan. Satu anggukan halus sangat membantuku. Semalam, selepas salat berjamaah ibu berkata, “Pergilah, cari rumahmu. Tempatmu pulang. Karena tanpa pergi, kau tak dapat pulang.”
Ibu, hidupku dipenuhi doamu. Hanya lewat doa kita terkoneksi. Benang-benang transparan itu sekejap terhubung saat kau dan aku memohon padanya tentang apapun termasuk agar jika kelak kita terpisah, jaraknya akan dipersempit. Hanya lewat doa aku dapat menyentuhmu. Menyentuh hatimu.
Entah, apa doa ibu masih menyentuh hati bapak yang selepas ini pulang ke rumah kedua.
*****
Dibuat 30 Oktober 2012

No comments:

Post a Comment