Tuesday, 20 August 2013

Ibu Saya

Ibu saya tak pernah memasak untuk saya dan adik-adik. Beliau pun tak pernah memandikan kami -sekadar menjerangkan air mandi kami, mungkin pernah-. Beliau hanya sesekali menyapu rumah. Beliau selalu lupa mengingatkan kami makan. Akan tetapi, beliau suka sekali menyuapi adik bungsu kami. Beliau tak pernah menanyakan PR kami, apalagi mengingatkan shalat. Beliau... Saya lupa apa lagi yang tak pernah beliau lakukan karena terlalu banyak. Sulit bagi saya untuk mengingatnya. Saya lebih ingat dengan yang pernah beliau lakukan:

Hari itu, sepulang sekolah, saya mendapati beliau sedang berbincang dengan bapak saya. Dari yang saya dengar, beliau pamit pergi ke Jawa untuk menghadiri peringatan setahun kematian kakeknya. Saat itu, bapak saya hanya berpesan agar beliau berhati-hati. Sambil menggendong si bungsu dan menjinjing tas berukuran sedang, beliau melewati saya seraya berkata, "Mamah ke tempat Mbah dulu, Bang.". Saya hanya mengangguk. Si bungsu menggelayut di kain gendongan sembari tersenyum polos, cantik.

Sejak saat itu, saya berpura-pura terbiasa tanpa beliau walaupun ketika beliau ada sesungguhnya beliau tak pernah melakukan apapun untuk saya. Hanya saja ketika melihat beliau ada, saya merasa lebih tenang. Sejak saat itu, setiap makan siang, saya dan adik saya diungsikan ke rumah Ompung. Sejak saat itu, setiap harinya selesai makan siang, Ompung memberi kami bekal untuk makan malam di rumah.

Baru saat itu saya mengerti bahwa bapak saya pria yang sangat baik meskipun Ompung dan saudara lain menilainya lain: pria bodoh kena pelet yang tak pandai membimbing serta memimpin istri. Baru saat itu saya mengerti bahwa beliau, ibu saya, meninggalkan kami: bapak, saya , dan adik. Baru saat itu saya mengerti bahwa ibu saya tak tahan dengan kehidupan keluarga kami: bapak saya hanya pedagang kue yang berkeliling komplek setiap pagi dan sore hari dengan sepeda butut untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Baru saat itu saya mengerti bahwa bapak saya pria yang sangat terhormat karena berkali-kali memaafkan ibu, yang belakangan saya ketahui, berkali-kali pula mengkhianati bapak.

Mulai saat itu saya sadari betul kata-kata Ompung yang selalu terngiang-ngiang, "Abang tidak boleh marah kalau opung dan saudara-saudara lain sering membicarakan keburukan mamakmu. Memang begitu sebenarnya, mamak abang. Nakal, jahat! Kalau nanti di sekolah, abang tidak suka teman-teman menggunjingkan mamakmu, tak usah marah, pergi saja dari situ.". Mulai saat itu untuk pertama dan terakhir kalinya saya menangis tersungkur di paha Ompung. Mulai saat itu saya sadari betul bahwa bapak selalu melakukan hal-hal yang tak pernah ibu lakukan untuk saya dan adik. Mulai saat itu saya sadari betul bahwa bapak ialah ibu yang sesungguhnya bagi saya. Mulai saat itu saya sadari betul bahwa sikap bapak yang memaafkan adalah pilihan terbaik.

Ibu saya tak pernah memasak untuk saya dan adik-adik. Beliau pun tak pernah memandikan kami -sekadar menjerangkan air mandi kami, mungkin pernah-. Beliau hanya sesekali menyapu rumah. Beliau selalu lupa mengingatkan kami makan. Akan tetapi, beliau suka sekali menyuapi adik bungsu kami. Beliau tak pernah menanyakan PR kami, apalagi mengingatkan shalat. Beliau...

 -Terinspirasi dari Sekitar-
140311

Catatan: ompung berarti nenek/kakek. Ditulis ompung, dilafalkan opung.

No comments:

Post a Comment