Ibu saya
tak pernah memasak untuk saya dan adik-adik. Beliau pun tak pernah memandikan
kami -sekadar menjerangkan air mandi kami, mungkin pernah-. Beliau hanya
sesekali menyapu rumah. Beliau selalu lupa mengingatkan kami makan. Akan
tetapi, beliau suka sekali menyuapi adik bungsu kami. Beliau tak pernah
menanyakan PR kami, apalagi mengingatkan shalat. Beliau... Saya lupa apa lagi
yang tak pernah beliau lakukan karena terlalu banyak. Sulit bagi saya untuk
mengingatnya. Saya lebih ingat dengan yang pernah beliau lakukan:
Hari itu,
sepulang sekolah, saya mendapati beliau sedang berbincang dengan bapak saya.
Dari yang saya dengar, beliau pamit pergi ke Jawa untuk menghadiri peringatan
setahun kematian kakeknya. Saat itu, bapak saya hanya berpesan agar beliau
berhati-hati. Sambil menggendong si bungsu dan menjinjing tas berukuran sedang,
beliau melewati saya seraya berkata, "Mamah ke tempat Mbah dulu,
Bang.". Saya hanya mengangguk. Si bungsu menggelayut di kain gendongan
sembari tersenyum polos, cantik.
Sejak saat
itu, saya berpura-pura terbiasa tanpa beliau walaupun ketika beliau ada sesungguhnya
beliau tak pernah melakukan apapun untuk saya. Hanya saja ketika melihat beliau
ada, saya merasa lebih tenang. Sejak saat itu, setiap makan siang, saya dan
adik saya diungsikan ke rumah Ompung. Sejak saat itu, setiap harinya selesai
makan siang, Ompung memberi kami bekal untuk makan malam di rumah.
Baru saat
itu saya mengerti bahwa bapak saya pria yang sangat baik meskipun Ompung dan
saudara lain menilainya lain: pria bodoh kena pelet yang tak pandai membimbing
serta memimpin istri. Baru saat itu saya mengerti bahwa beliau, ibu saya,
meninggalkan kami: bapak, saya , dan adik. Baru saat itu saya mengerti bahwa
ibu saya tak tahan dengan kehidupan keluarga kami: bapak saya hanya pedagang
kue yang berkeliling komplek setiap pagi dan sore hari dengan sepeda butut
untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Baru saat itu saya mengerti bahwa
bapak saya pria yang sangat terhormat karena berkali-kali memaafkan ibu, yang
belakangan saya ketahui, berkali-kali pula mengkhianati bapak.
Mulai saat
itu saya sadari betul kata-kata Ompung yang selalu terngiang-ngiang,
"Abang tidak boleh marah kalau opung dan saudara-saudara lain sering
membicarakan keburukan mamakmu. Memang begitu sebenarnya, mamak abang. Nakal,
jahat! Kalau nanti di sekolah, abang tidak suka teman-teman menggunjingkan
mamakmu, tak usah marah, pergi saja dari situ.". Mulai saat itu untuk
pertama dan terakhir kalinya saya menangis tersungkur di paha Ompung. Mulai
saat itu saya sadari betul bahwa bapak selalu melakukan hal-hal yang tak pernah
ibu lakukan untuk saya dan adik. Mulai saat itu saya sadari betul bahwa bapak
ialah ibu yang sesungguhnya bagi saya. Mulai saat itu saya sadari betul bahwa
sikap bapak yang memaafkan adalah pilihan terbaik.
Ibu saya
tak pernah memasak untuk saya dan adik-adik. Beliau pun tak pernah memandikan
kami -sekadar menjerangkan air mandi kami, mungkin pernah-. Beliau hanya
sesekali menyapu rumah. Beliau selalu lupa mengingatkan kami makan. Akan
tetapi, beliau suka sekali menyuapi adik bungsu kami. Beliau tak pernah
menanyakan PR kami, apalagi mengingatkan shalat. Beliau...
-Terinspirasi dari Sekitar-
140311
Catatan: ompung berarti nenek/kakek. Ditulis
ompung, dilafalkan opung.
No comments:
Post a Comment